Menimbang Kepemimpinan Jokowi Ahok Vs Idza Narjo
Membandingkan konsep dan gaya kepemimpinan Jokowi Ahok versus Idza Narjo, memang bukan hal yang bijaksana. Namun sebagai yang sama-sama pemimpin, apa salahnya bila sedikit bisa membandingkan kinerjanya. Toh Jokowi Ahok dan Idza Narjo sama sama sedang memimpin sebuah masyarakat, dan memimpin sebuah birokrasi, yang diharapkan memberi perbaikan.
Pertama sejak terpilihnya Jokowi Ahok, publik sempat meragukan penampilan kerja mereka. Pasalnya Jokowi yang berasal dari-meminjam bahasanya Thukul Arwana- Wong Ndeso (Solo-red) harus berhadapan dengan masyarakat kosmopolitan dengan penduduknya terdiri dari beberapa etnis seluruh Indonesia, serba modern, rasional serta serba komplek permasalahan. Hal ini jelas memerlukan kesiapan mental serta teknik managerial kepemimpinan yang tidak mudah. Namun publik berangsur berbalik arah, dengan melihat ide brilian duet kepemimpinannya , kini mereka se-olah menjadi ikon (sosok kepemimpinan) yang hampir mewarnai sorotan media, dari soal blusukan, pembenahan infrastruktur, pengetatan anggaran hingga penataan birokrasi.
Gebrakan demi gebrakan pun di jalani duet kepemimpinan Jokowi Ahok. Dari soal pembenahan angkutan umum, MRT, KRL, kebijakan mobil nomor ganjil genap, pembuatan tol, Jalan layang dsb. Belum soal pelayanan kesehatan dengan kartu jakarta sehat (KJS). Konon Jokowi ingin ada dokter keluarga untuk warga miskin, juga soal pendidikan pemerintah DKI-pun mengalokasikan anggaran dengan program “Jakarta Pintar” nya. Perumahan kaum bawah dengan hunian susun serta berbagai pemberian fasilitas umumnya juga tidak luput jadi kebijakannya.
Di tingkat penyusuanan anggaran (APBD) pun Ahok sudah mulai mengetatkan anggaran. Anggaran- anggaran yang tidak berpihak pada rakyat seperti sumbangan untuk yayasan sudah di koreksinya.
“ Sudah jelas pemilik yayasan milik orang kaya, masa harus disumbang pemerintah DKI ? bisa habis anggaran APBD untuk yayasan dong, “ kilah Ahok, yang pernah dilansir di media nasional. Penyusunan anggaran Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang tidak rasional dan cenderung tidak produktif pun di pangkas.
Belum lagi kesederhanaan Jokowi yang membawa tempat tidurnya yang nota bene buatan sendiri, dan sengaja di boyong dari solo menuju tempat persinggahnnya di perumahan gubernur DKI ini. Bandingkan dengan tempat tidur (badroom) bupati Idza yang dianggarkan berharga 100 juta rupiah, seperti yang pernah dipertanyakan LSM Gebrak dalam menyikapi 100 hari pimpinan Idza Narjo.
Soal banjir, wacana Deep Tunnel, atau gorong gorong bawah tanah, yang bisa berfungsi untuk jalan mobil, dan jalan air juga sudah menjadi wacana dan hampir terealisasi. Bahkan kabar ter-anyar Jokowi sudah menggandeng pihak TNI untuk menjadikan sungai Ciliwung sebuah sungai yang ber-adab. Artinya, bagaimana nantinya arus air bisa menjadi sarana tranportasi, kanan-kiri bantaran juga bisa menjadi tempat yang nyaman untuk kongkow-kongkow, layaknya sungai di beberapa negara lain.
Dan Yang tak kalah fenomenal yakni dominasi penempatan jabatan birokrasi dengan cara konvensional, atau hanya sekedar penunjukan langsung, oleh Jokowi, penempatan jabatan kini di upayakan kompetitif dengan cara di lelang . Sepertinya tidak ada ampun lagi untuk para birokrat yang tidak berprestasi dan tidak punya visi ke depan.
Sekali lagi, membandingkan Jokowi Ahok Vs Idza Narjo memang bukanlah hal yang bijaksana. Namun bagaimanapun kepemimpinan Idza Narjo juga mempunyai aparatur pemerintahan dibawahnya yang harus di-manageriali.
Sayangnya, beberapa hari setelah pelantikan bupati dan wakil bupati Idza Narjo, yang ada hanya aroma tidak sedap yang membuat instabilitas di kalangan PNS Brebes. Pasalnya, opini yang berkembang bukan seputar bagaimana upaya meningkatkan profesional kerja PNS, namun justru yang muncul isu dikotomi wonge Agung, Wonge Idza.
Pergantian atau mutasi awal dan ke dua era bupati Idza pun sepertinya tidak merujuk pada konsep The right man and the right job/place, yang bermakna kurang lebih menempatkan PNS sesuai dengan keahliannya- (Max Weber).
Contohnya dengan banyaknya PNS dari jabatan fungsional yang tiba-tiba menjadi pejabat struktural. Adalagi soal lompat jabatan, padahal golongan kepangkatan belum memenuhi.
Sementara persoalan lain ditingkat pucuk pimpinan birokrasi yakni tentang keberadaan sekertaris daerah (Sekda) Plt yang sudah pernah di jabat 5 orang, dan sudah memakan waktu 2 tahun berjalan belum juga ter-tangani. Padahal mekanisme pemilihan jabatan sekda sudah dilaksanakan dan dilalui sesuai aturan birokrasi baik di tingkat kabupaten maupun propinsi. Bupati hanya tinggal memilih definitifnya. Bisa jadi upaya pembiaran ini merupakan bentuk pelecehan (countemp) pimpinan daerah terhadap aturan dan keberadaan birokrasi.
Bila keberadaan ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan menjadi blunder, seperti yang dikatakan mantan sekda Brebes Bambang Muryantono hanya akan menimbulkan rawan gugatan ke PTUN, karena sekda Plt, sejatinya tidak mempunyai kewenangan seperti sekda definitif, antaranya kewenangan dalam penyusunan anggaran dan mengelola keuangan. Plt juga tidak berwenang dalam mengatur kepegawaian menjadi tim baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan), Radar Tegal (4/5).
Apakah sistim birokrasi Brebes akan disamakan seperti dinamika politik nasional dengan konsep politik dagang sapinya ? ( politik transaksional atau politik bagi-bagi kekuasaan ) sehingga di Brebes muncul istilah ” birokrasi dagang sapi ” hanya karena utang budi dalam pilkada lalu..(?).
Di tambah lagi terdapatnya isu yang tidak mengenakan- kabarnya untuk dapat jabatan, seorang PNS harus keluarkan duit 50 hingga 150 juta rupiah… (Waallahu a’ lam bishowab ). Bila isu ini benar paling tidak akan membuat preseden (peristiwa buruk) yang oleh Dr. Nurcholish Majdid dalam bukunya, Islam, Doktrin Dan Peradaban, akan meng-imbas pada “ kerja birokrasi yang payah dengan tingkat korupsi yang parah.”- karena PNS dalam kerja mesti kejar setoran untuk menutup dulu pengeluarannya.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah salah bila masyarakat berharap Idza Narjo mengadopsi konsep melelang jabatan (untuk menghindari birokrasi dagang sapi)- atau sebenarnya dalam bahasa alamiahnya melalui uji kompetensi dalam menentukan posisi jabatan strategis di birokrasi Brebes ?
Toh, biar masyarakat Brebes Tahu, sejauh mana kapabilitas PNS yang akan menjabat pada suatu posisi jabatan. Atau paling tidak dengan adopsi cara lelang jabatan tersebut, akan menghilangkan stigma yang dulu sering jadi gurauan seorang aktivis LSM yang sudah Almarhum Duryani alias “Gus Dur”. PNS buta huruf di kasih jabatan, Ngarti Tah Ora….. (?)
Berpulang ke- kepemimpinan Idza Narjo, secerdas apa beliau-beliau ini. Kami rakyat Brebes hanya bisa menilai, bukan mau mendikte…(*)
( Penulis adalah redaktur BREBESNEWS.CO )