Haruskah TNI-Polri Kembali Bersatu ?
Oleh : Utsman Warga Brebes
Secara filosofis dan struktural (seharusnya juga pada aktualisasinya) fungsi polisi adalah fungsi keamanan pada masyarakat sipil, bukan fungsi pertahanan dalam konteks politik. Pendekatan dalam fungsi pertahanan negara adalah defense and combat . Sementara fungsi polisi pada masyarakat sipil adalah to protect and service , yaitu mengayomi dan melindungi.
Adanya, wacana yang untuk menyatukan kembali antara TNI-Polri dibawah kordinasi Menko Polhukkam yang digulirkan oleh Menhan Juwono Sudarsono (dulu), mulai ramai dibicarakan. Di antaranya adalah mantan Ketua MPR Amien Rais, salah seorang yang turut berperan dalam pemisahan struktur antara TNI dan Polri, yang kemudian di tetapkan dalam Tap MPR Nomor VII tahun 2000, yang menegaskan bahwa peran kepolisian RI terpisah dengan TNI serta menyebutkan pula bahwa Polri di bawah Presiden.
Menurut Amien, merger atau penyatuan kembali TNI dan Polri sebagai lonceng awal keterpurukan demokrasi. Lebih lanjut Amien mengatakan, dampak negatif dari penyatuan tersebut akan kembali ke iklim militer yang tidak menopang kekuatan sipil. Pada gilirannya, upaya untuk menegakkan masyarakat madani atau civil society semakin rumit.
Meski kenyataannya hingga saat ini, banyak pihak masih memandang polisi yang telah pisah dari militer, namun masih enggan bahkan tetap masih mencintai hal-hal yang sifatnya militeristik, dimana hal tersebut tidak sejalan dengan kewenangan polisi secara universal yang termuat dalam Resolusi PBB Nomor 36/164 tahun 1976, yang memposisikan adanya tataran kewenangan kepolisian yang lebih demokratis, di antaranya adalah: berani menolak perintah atasan yang melanggar konstitusi/hukum.
Dan tanggung jawab atas kelalaian tindakan (malactions ) bukan pada atasan atau komandan tetapi pada pribadi petugas di lapangan. Dan masih banyak komandan di kesatuan Kepolisian menganggap, tamtama dan bintara seperti prajurit pelaksana perintah, dan kurang menonjolkan fungsinya sebagai agent of law .
Masalah pemisahan atau penyatuan kembali antara TNI-Polri, adalah masalah yang kompleks, tidak semudah pisah dan rujuknya kembali antara suami istri dalam satu rumah. Karena pilihan yang akan diambil, akan memberikan dampak yang besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam upaya memantapkan arah transisi menuju demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk memahami, transformasi penyatuan dan pemisahan struktur TNI dan Polri sebagai komponen utama dalam pembangunan bidang hankam, ada baiknya kita memahami kilas balik penyatuan dan pemisahan struktur TNI-Polri dalam format ABRI. Yang dalam sejarah nasional yang pernah memperoleh legitimasi filosofis, historis, yuridis dan sosiologis. Namun pada era reformasi format penyatuan TNI-Polri dalam format ABRI mendapatkan gugatan atas tugas dan perannya sejalan dengan harapan masyarakat dan tuntutan reformasi.
Kilas Balik Pemisahan TNI – Polri
Pada awal era reformasi tataran penyatuan struktural TNI-Polri, mulai dipertanyakan. Dan respon ABRI pada awal lahirnya era baru tersebut, telah memandang bahwa reformasi adalah suatu keniscayaan yang harus direspon dengan mereformasi dirinya secara konseptual, gradual dan kontinyu melalui redefinisi yang berarti menata kembali konsepsi peran ABRI pada terminologi yang secara kontekstual dapat dipahami dan diterima sebagai realitas sosial
Dalam dinamika selanjutnya hingga dibentuknya kabinet persatuan dalam pemerintahan Abdurahman Wahid, telah dicanangkan kebijakan baru yang amat strategis antara lain, sistem pertahanan keamanan telah dikembalikan posisinya menjadi dua sistem yang terpisah yaitu sistem pertahanan negara, dan sstem kamanan yang diawali dengan pengembalian kedudukan Departemen Hankam menjadi Departemen Pertahanan seperti sebelum Orde Baru. Bersamaan dengan kebijakan tersebut
jabatan Menteri Pertahanan dikembalikan kepada pejabat sipil.
Hal ini dilakukan sebagai bagian dari upaya penyelenggaraan sistem pemerintahan negara yang didasarkan pada prinsip demokrasi, yang juga sesuai dengan kelaziman dunia internasional. yang hampir sebagian besar negara-negara di dunia memisahkan antara sistem pertahanan dan sistem keamanan , karena kedua sistem itu memang berbeda baik subjek, objek, metoda, maupun fungsi di dalam sistem pemerintahan negara demokrasi.
Dalam wacana umum, sistem pertahanan objeknya adalah ancaman kekuatan militer asing (musuh dari luar negeri), Infiltrasi anasir asing di perbatasan wilayah yurisdiksi NKRI, konflik vertikal yang didukung oleh kekuatan militer asing serta problem keamanan regional antar negara di kawasan sekitar RI
Pelaksana fungsi pertahanan adalah komponen-komponen sistem pertahanan negara. Komponen utama TNI (AD,AL,AU), komponen pengganda (bala potensial insani dan non insani yang dapat menggandakan kekuatan dan kemampuan TNI berdasarkan ketentuan UU. Kedua komponen pertahanan tersebut berstatus kombatan (to combat the enemy-to destroy the enemy ).
Metode yang digunakan dalam menjalan sishan, dijalankan dengan mengarahkan kekuatan militer TNI dan sistem senjatanya untuk menghancur musuh (destroy the enemy ), pengerahan kekuatan militer diperintahkan oleh presiden selaku panglima tertinggi TNI dengan persetujuan DPR. Penghancuran militer musuh dapat dilakukan dengan operasi militer terhadap musuh yang di wilayah RI maupun yang berada yang sedang menuju wilayah RI. Serta metode pertahanan tunduk pada hukum/konvensi internasional.
Sedangkan wacana dalam sistem keamanan, memiliki objek, subjek dan metode, sebagai berikut : Objek keamanan adalah semua bentuk perbuatan manusia (WNI) yang melawan hukum, yaitu semua jenis tindak pidana (politik, ekonomi, korupsi, kriminal, terorisme, sabotase, kerusuhan massal dll). Konflik vertikal yang tidak didukung militer asing (intinya perbuatan melawan hukum oleh manusia di wilayah yurisdiksi NKRI).
Subjek pelaksana fungsi keamanan adalah alat negara penegak hukum yang terdiri dari polisi sebagai pelaksana tugas kamtibmas, aparat penegak hukum lainnya berdasarkan ketentuan undang-undang. Serta apabila diperlukan dalam operasi polisionil, polisi dapat minta bantuan militer sesuai ketentuan UU.
Metode keamanan dijalankan dengan melakukan: operasi/kamtibmas, operasi penyidikan terhadap pelaku, menjalankan fungsi pelayanan masyarakat.
Status Polri dalam Pemerintahan Negara adalah alat negara penegak hukum dan pelaksana fungsi kamtibmas serta Polri menjalankan fungsi pelayanan publik.
Mewujudkan Polisi Sipil Dan Profesional
Perjalanan Kepolisian Negara Republik Indonesia, tidak terlepas dari perkembangan kepolisian universal, baik berkenaan dengan asal usul istilah polisi , perkembangan fungsi kepolisian serta sistem kepolisian yang dianut.
Secara universal peran polisi dalam masyarakat dirumuskan sebagai penegak hukum (law enforcement officer ), dan pemeliharaan ketertiban (order maintenance ). Dalam pengertian itu termasuk di dalamnya peran sebagai pembasmi kejahatan (crime fighters ).
Di negara totaliter, polisi pada umumnya mengabdi kepada pemerintahan yang berkuasa. Polisi menjadi alat politik untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah yang berkuasa. Polisi memiliki peran antagonis terhadap masyarakat yang melihatnya sebagai musuh, karena polisi tidak melindungi masyarakat, tetapi hanya mengabdi kepada penguasa.
Di negara demokratis sistem kepolisian pada garis besarnya digolongkan dalam 3 (tiga) model:
Pertama, Fragmented system . Badan kepolisian tumbuh dari bawah (masyarakat). Sangat terdesentralisasi sesuai kondisi masyarakat, sistem ini terlihat di Amerika Serikat, Kanada dan Belgia. Polisi nasional/federal seperti FBI hanya menangani undang-undang pidana tertentu, Secret Service hanya menangani masalah keuangan dan pajak nasional dan DEA hanya menangani narkotika dan obat bius. Kelemahan sistem ini, standar kerja tidak seragam dan koordinasi serta arogansi sektoral menjadi masalah.
Kedua, Centralized System . Sistem yang sentralistis seperti di Perancis dan Italia, kedua negara berbatasan dengan negara-negara yang secara politis sangat rawan sehingga diperlukan kepolisian yang kuat dalam suatu sistem yang tersentralisasi disamping pengawasan dan transparansi, agar kepolisian tidak menjadi alat politik.
Ketiga, Integrated System, gabungan antara pertama dan kedua seperti di Inggris dan Jepang. Walaupun standar kerja ditetapkan secara nasional tetapi aplikasinya didesentralisasikan, dan didasarkan kepada kebutuhan/kekhasan masyarakat setempat.
Dalam proses transisi dari kondisi kekuasaan sentralistik otoriter menuju ke kekuasaan demokrasi, maka polisi harus melakukan tranformasi secara terus menerus untuk menjadi polisi sipil. Dari perilaku polisi sebelumnya ketika masih bergabung dengan ABRI yang lebih mengedepankan pola-pola represif dalam menegakkan hukum dari pada pola atau upaya bersifat persuasif. Polisi sipil yang diharapkan oleh rakyat, dalam pandangan Dr. J. Kristiadi adalah polisi yang tidak memiliki ciri-ciri yang militeristik, tetapi polisi yang mengayomi, melayani dan melindungi masyarakatnya.
Agenda penting dalam mewujudkan polisi sipil yang profesional adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Polri, karena sarana dan prasaran lainnya, akan tidak berarti jika tidak didukung oleh kualitas SDM.
Upaya mewujudkan polisi sipil yang profesional, bukanlah hal yang mudah dan dapat dengan segera diwujudkan, apalagi kalau dikaitkan dengan tantangan terhadap perkembangan dinamika lingkungan strategis yang semakin kompleks. Yang menuntut Polri untuk memiliki kepekaan (sensitivitas ) dan upaya antisipasi proaktif serta mengembangkan model pemolisian yang berpihak kepada masyarakat (protogonis ) berorentasi pada pemecahan masalah-masalah masyarakat dengan berbasis pada kedekatan pada masyarakat yang lebih manusiawi.
Berhasil tidaknya mewujudkan polisi sipil dan profesional, juga ditentukan oleh sikap dan peran serta masyarakat, terutama elite politik dalam menata pola koordinasi TNI-Polri, tentu saja, wacana Menhan Juwono Sudarsono, tidak bermaksud mengembalikan koordinasi TNI-Polri ke dalam format lama, tetapi yang terbaik adalah bagaimana melakukan penataan koordinasi yang melahirkan sinergitas dalam kemandirian TNI-Polri yang bermartabat dan fungsional dalam merespon tantangan pengabdian bangsa dan negara yang semakin kompleks. (*)