By 17 September 2017

Heboh Kasus PCC, Audit Seluruh Apotek dan Toko Obat

Oleh :  Dr. Dewi Aryani MSi
Anggota Komisi IX DPR-RI Fraksi PDIPerjuangan Dapil 9 (Brebes, Kota Tegal dan Kabupaten Tegal)

Maraknya kasus peredaran obat terlarang saat ini, harus menjadi perhatian serius pemerintah. Baru-baru  ini terjadi kasus peredaran obat atau pil jenis PCC (Paracetamol Caffein Carisoprodol) hingga menyebabkan 2 korban meninggal, dan 68 lainnya terpaksa harus di rawat di Rumah Sakit Jiwa di Kendari Sulawesi Tenggara. Kasus ini perlu di curigai obat tersebut mengandung bahan berbahaya.

Membicarakan kasus yang sudah terjadi ini, sebenarnya yang harus di cermati adalah obat PCC tersebut sebenarnya masuk obat legal atau tidak dan jika dikonsumsi apakah harus dengan surat rekomendasi resep dokter.

Obat PCC merupakan obat yang mempunyai kandungan bahan aktif generik yang terdiri paracetamol atau acetaminofen + caffeine + carisoprodol. 3 komponen obat tersebut masing-masing memberikan efek kerja yang berbeda namun saling berkaitan untuk mendukung masing-masing efek kerja obat.

Dalam kasus di Kendari Sulawesi Tenggara yang jadi masalah adalah obat tersebut diketahui beredar tanpa ijin BPOM dan dijual bebas. Saat ini polisi pun telah menetapkan beberapa orang jadi tersangka, diantaranya seorang apoteker dan asistennya. Hal ini berarti ada penyimpangan dalam produksi dan distribusinya.

Mencermati kasus yang sedang terjadi inilah pemerintah dalam hal ini Kepolisian, BPOM (Badan Pengawasan Obat-obatan dan makanan) dan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) harus segera melakukan investigasi menyeluruh.

Siapa yg memproduksi obat, dan kenapa bisa di konsumsi secara massal, dan dapat di perjual belikan bebas tanpa resep dokter.

Termasuk apakah ada kandungan lain yg berbahaya misalnya narkoba dan sejenisnya dalam pil PCC yg beredar ?


Audit Apotik dan Toko Obat

BPOM harus segera melakukan audit terhadap seluruh apotek dan toko obat , harus di cek ijinnya, jenis obat yg dijual belikan dan lain-lain, supaya peredaran obat terlarang bisa di antisipasi. Tentu peran kepolisian dan pemerintah daerah juga penting agar pengawasan maupun audit yang dilakukan bisa secara menyeluruh di seluruh wilayah Indonesia.

Pemerintah juga telah menetapkan aturan bahwa obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar (lihat Pasal 106 ayat [1] Pasal 1 ayat [4] UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan).

Sehingga, apabila para tersangka pada kasus tersebut mengedarkan obat tanpa izin edar, mereka jelas melanggar Pasal 197 UU 36/2009.

Pasal ini menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Larangan untuk mengedarkan obat bagi pihak yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan ini juga dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 98 ayat (2) UU 36/2009 bahwa setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.

Dengan adanya pengetatan serta audit yang intens apotik maupun took obat diharapkan peredaran obat PCC yang sudah menelan korban jiwa, terutama generasi muda bisa ditekan hingga tak terulang lagi. (*)

Posted in: Opini