By 4 February 2018

NU dan Menghidupkan Kembali Gerakan Mubarot

KH Nasrudin

( Pengasuh Pondok Pesantren Modern Al Falah Jatirokeh, Songgom dan mantan anggota DPR-RI)

Diusianya yang 92 tahun, Nahdlatul Ulama (NU) terkesan masih terkesima dunia politik praktis. Hal tersebut terbukti dengan adanya aroma terciumnya banyaknya pengurus Nahdliyyin (warga NU) yang nyemplung menjadi politikus. Dan tak tanggung tanggung menjadi calon kepala daerah bahkan calon Presiden.

Kegamangan tersebut, membuat organisasi NU tidak fokus dalam pengkaderan dan mabarot (sosial kemanusiaan) seperti kepdulian di bidang kesehatan umat, kemiskinan dan keterbelakangan kependidikan.

Sebagai warga Nadliyin, penulis mengaku bangga dengan kiprah NU yang selalu tampil digaris terdepan ketika ada kelompok yang berupaya merongrong Pancasila, yang anti NKRI.

Karena langkah NU tersebut menguntungkan banyak pihak, tetapi kalau selalu larut dalam kiprah tersebut, NU akan dijadikan musuh bersama bagi pihak pihak yang anti NKRI.

Kaum radikal katakanlah yang membawa kepetingan atas nama agama, telah menyusun kekuatan dan melemahkan NU dengan cara menarik anak anak keturunan NU masuk ke dalam kelompoknya, seperti Wahabi. Bahkan menarik-narik warga Nahdliyin lainnya dengan cara ekstrim, seperti bergabungnya ke ISIS.

Penulis mensinyalir sudah ribuan anak dari keluarga NU yang telah tergabung dengan kelompok mereka, kaum Wahabi, karena ketidaktahuannya.

Untuk itu, penulis mengharapkan agar garapan utama bagi NU harus mempertahankan anak anak dari keluarga NU agar tetap berkhidmat dengan NU. Caranya, dengan pengkaderan sejak dini melalui dunia pendidikan.
NU masih kalah langkah dalam pengkaderan dini, utamanya di dalam dunia pendidikan.

Gerakan Mabarot

Penulis juga menekankan, untuk mendapat simpati warga lainnya, sudah seharusnya kegiatan sosial dan mabarot seperti kesehatan, penanggulangan kemiskinan dan pendidikan harus digarap maksimal.

Jangan sampai NU besar hanya wadahnya saja tetapi tak berisi, tak berkualitas karena tidak peka terhadap persoalan persoalan kemanusiaan, persoalan umat. Padahal dalam Quran, kesalehan ritual selalu bergandengan dengan kesalehan social.

Ada sholat ada zakat, Atau dalam surat QS Al Ma’un yang mengartikan “celakalah orang yang sholat tapi tak menghirauakan kaum tertindas (kaum lemah) dan kaum dhuafa (kaum miskin).

Ciptakan konsolidasi yang massif untuk generasi emas NU, jelang usia se- abad NU ini agar NU makin kuat di dalam kebesarannya.

NU dan politik kenegaraan

Hingga saat ini, penulis menyayangkan dengan trend yang digarap NU , malah politik. Pengurus maupun personal NU banyak yang terkesima dengan Politik.

“Sayang sekali kalau NU selalu dijadikan pendorong mobil mogok yang selanjutnya ditinggal begitu saja, gigih mengunggulkan calon Kepala Daerah misalnya, tetapi hanya dijadikan tukang dorong saja,”
Setelah mobil yang jadi, jalan, pihak pendorong malah yang kebanyakan warga NU di tinggalkan.

NU seharusnya tetap berpolitik, namun berpolitik kebangsaan-politik kenegaraan, bukan politik praktis. NU berhikmat untuk berpolitik kebangsaan dengan tujuan untuk kesejahteraan dan kemaslahatan umat.

Berpolitik yang tidak hanya menguntungkan orang perorangan, apalagi golongan tertentu saja.
Warga NU atau Nahdliyin wajib terlibat dalam pilkada karena menyangkut politik kebangsaan.

Saat ini, di perhelatan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah,calon kepala daerah yang maju semuanya ada yang berasal dari kader NU.

Mudah-mudahan para calon tersebut bukan mobil yang rusak, yang hanya memanfaatkan Nahdliyin, yang butuh dorongan suara belaka.

“Ingatlah, keterlibatan Nahdliyin dalam Pilkada, untuk mewujudkan kesejateraan umat Selamat Harlah NU ke 92. (*)

Posted in: Opini